Jumat, 24 Agustus 2012

#lebihdekatdengansahabat 29: Abdurrahman bin ‘Auf


muhammadakhyar:

Seperti kata pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”, pada Ramadan kali ini saya akan mencuplik beberapa kisah ringkas sahabat Rasulullah. Mengapa ringkas? Karena saya sangat menyadari di sini bukan tempatnya untuk berpanjang-panjang menguraikan sesuatu. Disajikan ringkas karena memang sifatnya perkenalan. Tentu saja untuk mengenal lebih dalam, teman-teman saya harap bisa mencari sumber lain yang pastinya bertebaran di luar sana. Oh iya, literatur yang saya gunakan untuk tulisan ini adalah “Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah” karya Khalid Muhammad Khalid yang tersohor itu. Selamat berkenalan, selamat menjalankan ibadah Ramadan.

Ramadan pun berakhir, namun tentu saja semangat kita dalam mendekat lagi dan lagi menuju kebenaran itu, kepada Tuhan tak terhenti begitu saja. Serial lebih dekat dengan sahabat pun pada akhirnya akan selesai pula. Satu yang dapat saya petik dari menulis kisah ringkas sahabat ini, konsistensi itu berat. Kemudian, jikalau ada hal-hal yang tak pantas dalam penulisan serial ini, saya memohon maaf kepada Allah dan para hadirin pembaca. Terakhir, serial ini akan ditutup oleh seorang sahabat yang luar biasa. Kita mulai saja fragmennya.

Suatu ketika Madinah yang biasanya aman dan tenteram menjadi begitu gaduh. Semua orang berkerumun. Sebabnya jelas, dari pinggir kota terlihat debu mengepul tebal. Debu tersebut menutup pandangan mata. Orang-orang menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Akan tetapi dari balik debu tersebut orang-orang dapat mendengar suara hiruk pikuk serombongan kafilah besar.

Jika saat itu kita berada di sana, kita akan melihat tujuh ratus kendaraan yang sarat muatan memenuhi jalan-jalan Madinah. Tentu saja hal ini menjadi pemandangan yang membuat orang-orang tak sungkan untuk berkumpul dan bergembira karena datangnya rezeki yang datang dibawa kafilah ini.

Ibunda kita tercinta, Aisyah demi mendengar hiruk pikuk ini bertanya apakah yang sebenarnya terjadi di kota Madinah. Ia kemudian mendapat jawaban bahwa kafilah Abdurrahman bin ‘Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya. Bunda kita, Aisyah, bertanya lagi apakah kafilah itu yang menyebabkan semua kesibukan yang terjadi. Ia pun kembali mendapat penegasan bahwa kehebohan itu terjadi karena adanya tujuh ratus kendaraan sekaligus memasuki kota. Ibunda kita pun menggeleng-gelengkan kepala, sembari melayangkan pandangan, ia mengingat bahwa Rasulullah pernah suatu kali berkata,

“Kulihat Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”

Sebagian sahabat pernyataan bunda Aisyah itu kepada Abdurrahman. Ia pun teringat Rasulullah pernah menyampaikan itu lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yang berbeda. Mari kita simak ucapan Rasulullah yang lain itu,

“Wahai ibnu ‘Auf, anda termasuk golongan orang kaya dan anda akan masuk surga secara perlahan-lahan. Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda.”

Duhai saudara, kita tidak sedang membicarakan seseorang dengan level keimanan seperti kita. Kita tidak akan pernah mempermasalahkan bagaimanakah cara kita masuk surga, perlahankah, cepatkan, tertatih-tatihkah. Tidak, sekarang kita membicarakan sahabat yang merupakan satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Saat ini kita sedang menyuplik salah satu dari delapan sahabat yang mula-mula masuk Islam. Untuk itu perkataan masuk surga secara perlahan, tentu membuatnya gundah.

Sebelum tali-temalinya perniagaannya dilepaskan, ia segera menuju rumah ibunda kita Aisyah. Ia pun berkata,

“Anda telah mengingatkanku suatu hadits yang tak pernah kulupakan, dengan ini aku berharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatan berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah azza wajallah.”

Begitulah Abdurrahman bin ‘Auf. Sahabat kaya raya namun tak pernah sudi kehilangan kesempatannya untuk masuk surga dengan segera seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Ia pun sendiri heran dengan perniagaannya yang begitu berkembang pesat bahkan dinyatakan kafilah-kafilah miliknya mampu memenuhi kebutuhan makanan dan pakaian jazirah Arab. Demi melihat ini ia pernah berkata,

“Sungguh kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak.”

Begitulah Abdurrahman bin ‘Auf seorang hartawan tetapi tak mau menggadaikan dirinya demi kilauan dunia. Lihatlah ketika ia menjual tanah seharga empat puluh ribu dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya untuk keluarganya, untuk para isteri Nabi, dan untuk kaum fakir miskin. Lihatlah pula ketika ia menyerahkan lima ratus ekor kuda untuk perlengkapan balatentara Islam dan di hari yang lain seribu ekor kuda. Lihatlah pula menjelang ia wafat, ia berwasiat lima puluh ribu dinar untuk jalan Allah, kemudian diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman yang terbilang kaya pun mengambil bagian wasiat itu. Ia berkata,

“Harta Abdurrahman bin ‘Auf halal lagi bersih dan memakan harta itu membawa selamat dan berkah.”

Akan tetapi banyaknya sedekah ini tak pernah membuatnya tenang. Suatu hari saat ia sedang berpuasa, dihidangkanlah makanan untuknya berbuka. Timbullah selera makannya, tetapi selanjutnya berurailah air matanya,

“Mush’ab bin Umeir telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelah burdah. Jika ditutupkan ke kepalanya, kelihatanlah kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbukalah kepalanya.

Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia gugur sebagai syahid dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami.”

Ya, begitulah Abdurrahman bin ‘Auf, orang yang cemas dengan apa yang ia miliki hingga menjelang ajalnya ia masih berkata,

“Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah.”

Ah, sungguh kekhawatirannya itu adalah bentuk keimanan yang begitu tinggi. Padahal Rasulullah pernah bersabda untuknya sebagaimana dikatakan Ali,

“Anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar