Minggu, 18 Desember 2011

Tentang Saint Seiya dan Keberpasrahan

"Hidup bukan milik kita, kita yang harus beradaptasi dengan hidup", kalimat saktinya Acit beberapa waktu ini
"We do not choose our destiny, the destiny chooses us", kata teman yang lain

Awalnya merasa tidak setuju dengan kedua kalimat di atas. "Ko gitu sih? Bukannya manusia disuruh merencanakan hidupnya? Menentukan jalan apa yang akan diambilnya?, pikir saya. Tapi pertanyaan saya ternyata melupakan dua nilai besar, keikhlasan dan keberpasrahan.
Rencana hidup memang harus dibuat, tapi bukan pasti akan terjadi bukan? Idealnya rencana yang kita buat adalah sebuah proposal yang diajukan padaNya. Bahwa rencana itu akan terwujud atau tidak, semua terserah pada kehendakNya. Karena seringkali kita 'soktahu' menentukan apa yang terbaik untuk hidup kita, atau 'soktahu' menentukan jalan yang kita anggap terbaik untuk mencapai tujuan.
Tentu bukan berarti kita jadi berhenti merencanakan dan berusaha, tapi jangan lupa bahwa apapun yang terjadi; keberhasilan, ketercapaian tujuan, semua adalah karena Dia yang menghendaki, bukan sekedar karena usaha kita.

Ada satu cerita dari Kang Heri bertahun lalu, tentang analogi kepasrahan. "Suka nonton Saint Seiya gak Ti, waktu kecil?", tanyanya. Suka tentu saja, saya penggemar jurus debu2 intan dan Ksatria Emas Aries yang ganteng itu. "Inget ngga kalo pasukan Saint Seiya selalu bertempur sampe berdarah2, sampe teu bisa nanaon lah. Tapi justru pas udah mau kalah itulah biasanya kekuatannya tiba2 nambah, aya naon we nu nambah. Menang aja ujungnya."
Ceritanya fiksi sih, tapi analoginya sangat saya sukai! Sederhana saja, dan masih saya ingat sampai hari ini.

Ada juga kisah yang nyata.Satu cerita di tausyiah pagi MQFM, cerita tentang Siti Hajar yang mencari sumber air untuk Ismail yang kehausan.
Sudah hafal luar kepala tentu dengan ceritanya, bahwa Siti Hajar 7 kali berlarilari melintasi bukit Safa dan Marwah. Terbayang panas teriknya gurun, terbayang lelahnya seorang ibu dengan bayi berlarilari, kurang apalagi usahanya mencari? Tapi apakah setelah usahanya yang sedemikian, sumber air lantas ditemukan? Tidak. Sumber air ditemukan setelah Siti Hajar telah kehabisan harapan dan pasrah, papar Sang Ustadz.
Lalu mengabadilah sumur Zamzam yang digali malaikat, simbol keoptimalan usaha dan kepasrahan Siti Hajar yang didatangi jutaan manusia dari seluruh pelosok dunia setiap tahunnya.

Kenapa harus demikian? Wallahu a'lam, saya sama sekali tidak berkapasitas untuk menyimpulkan. Sekedar yang saya pahami, mekanismenya harus demikian agar manusia tak jadi sombong lantas durhaka dengan keberhasilannya. Lagi2 karena Dia teramat menyayangi hambaNya.. Bahwa saat berhasil setelah memasrahkan diri, kita mendapat 2 hal sekaligus; keberhasilan dan kerendahan hati untuk merunduk padaNya. Bahwa ketika tujuan belum lagi tercapai, kita masih bisa tersenyum karena yakin dan pasrah bahwa di depan pasti ada hadiah terbaik dariNya.
Kepasrahan bukan kelemahan, justru kekuatan dahsyat yang tersimpan. Ia adalah pengundang pertolonganNya yang dirahasiakan. Ia adalah kesadaran bahwa diri ini tiada daya tanpa pertolonganNya. Maka ia adalah merencanakan sebaik2nya, lalu berupaya semampunya, lalu merundukkan hati untuk menerima jalan dan kehendakNya.

"..dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki" (Q.S.Ibrahiim: 27)

by Putri Setiani on Saturday, February 13, 2010 at 8:14am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar