hai semuanya...
^^ senang sekali rasanya, akhirnya lapak ini jadi juga. Setelah sebelumnya diberi kebimbangan buat gak ya, buat, ngga, buat ngga..hehe finally i created it.
oh ya, rangkaian kalimat yang menghiasi blog baru saya ini bukanlah karya saya ^^v, izin share dari yang empunya. Tidak hanya saat ini,,, ke depannya juga akan lebih banyak karya kawan yang menjadi favorit saya harus rela mereka izinkan untuk saya bagikan buat kalian semua, haha
singkat kata,, sering-sering mampir yaa ke blog anci, mudaah-mudahan banyak yang bisa diambil manfaatnya..
sebaik-baik manusia ialah ia yang paling bermanfaat untuk sesama
dan semoga bsa menjadi secercah kebaikan yang memberatkan timbangan kebaikan buat kita semua
Minggu, 18 Desember 2011
sedikit bercuap-cuap sebagai pengantar
Tentang Saint Seiya dan Keberpasrahan
"Hidup bukan milik kita, kita yang harus beradaptasi dengan hidup", kalimat saktinya Acit beberapa waktu ini
"We do not choose our destiny, the destiny chooses us", kata teman yang lain
Awalnya merasa tidak setuju dengan kedua kalimat di atas. "Ko gitu sih? Bukannya manusia disuruh merencanakan hidupnya? Menentukan jalan apa yang akan diambilnya?, pikir saya. Tapi pertanyaan saya ternyata melupakan dua nilai besar, keikhlasan dan keberpasrahan.
Rencana hidup memang harus dibuat, tapi bukan pasti akan terjadi bukan? Idealnya rencana yang kita buat adalah sebuah proposal yang diajukan padaNya. Bahwa rencana itu akan terwujud atau tidak, semua terserah pada kehendakNya. Karena seringkali kita 'soktahu' menentukan apa yang terbaik untuk hidup kita, atau 'soktahu' menentukan jalan yang kita anggap terbaik untuk mencapai tujuan.
Tentu bukan berarti kita jadi berhenti merencanakan dan berusaha, tapi jangan lupa bahwa apapun yang terjadi; keberhasilan, ketercapaian tujuan, semua adalah karena Dia yang menghendaki, bukan sekedar karena usaha kita.
Ada satu cerita dari Kang Heri bertahun lalu, tentang analogi kepasrahan. "Suka nonton Saint Seiya gak Ti, waktu kecil?", tanyanya. Suka tentu saja, saya penggemar jurus debu2 intan dan Ksatria Emas Aries yang ganteng itu. "Inget ngga kalo pasukan Saint Seiya selalu bertempur sampe berdarah2, sampe teu bisa nanaon lah. Tapi justru pas udah mau kalah itulah biasanya kekuatannya tiba2 nambah, aya naon we nu nambah. Menang aja ujungnya."
Ceritanya fiksi sih, tapi analoginya sangat saya sukai! Sederhana saja, dan masih saya ingat sampai hari ini.
Ada juga kisah yang nyata.Satu cerita di tausyiah pagi MQFM, cerita tentang Siti Hajar yang mencari sumber air untuk Ismail yang kehausan.
Sudah hafal luar kepala tentu dengan ceritanya, bahwa Siti Hajar 7 kali berlarilari melintasi bukit Safa dan Marwah. Terbayang panas teriknya gurun, terbayang lelahnya seorang ibu dengan bayi berlarilari, kurang apalagi usahanya mencari? Tapi apakah setelah usahanya yang sedemikian, sumber air lantas ditemukan? Tidak. Sumber air ditemukan setelah Siti Hajar telah kehabisan harapan dan pasrah, papar Sang Ustadz.
Lalu mengabadilah sumur Zamzam yang digali malaikat, simbol keoptimalan usaha dan kepasrahan Siti Hajar yang didatangi jutaan manusia dari seluruh pelosok dunia setiap tahunnya.
Kenapa harus demikian? Wallahu a'lam, saya sama sekali tidak berkapasitas untuk menyimpulkan. Sekedar yang saya pahami, mekanismenya harus demikian agar manusia tak jadi sombong lantas durhaka dengan keberhasilannya. Lagi2 karena Dia teramat menyayangi hambaNya.. Bahwa saat berhasil setelah memasrahkan diri, kita mendapat 2 hal sekaligus; keberhasilan dan kerendahan hati untuk merunduk padaNya. Bahwa ketika tujuan belum lagi tercapai, kita masih bisa tersenyum karena yakin dan pasrah bahwa di depan pasti ada hadiah terbaik dariNya.
Kepasrahan bukan kelemahan, justru kekuatan dahsyat yang tersimpan. Ia adalah pengundang pertolonganNya yang dirahasiakan. Ia adalah kesadaran bahwa diri ini tiada daya tanpa pertolonganNya. Maka ia adalah merencanakan sebaik2nya, lalu berupaya semampunya, lalu merundukkan hati untuk menerima jalan dan kehendakNya.
"..dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki" (Q.S.Ibrahiim: 27)
by Putri Setiani on Saturday, February 13, 2010 at 8:14am
"We do not choose our destiny, the destiny chooses us", kata teman yang lain
Awalnya merasa tidak setuju dengan kedua kalimat di atas. "Ko gitu sih? Bukannya manusia disuruh merencanakan hidupnya? Menentukan jalan apa yang akan diambilnya?, pikir saya. Tapi pertanyaan saya ternyata melupakan dua nilai besar, keikhlasan dan keberpasrahan.
Rencana hidup memang harus dibuat, tapi bukan pasti akan terjadi bukan? Idealnya rencana yang kita buat adalah sebuah proposal yang diajukan padaNya. Bahwa rencana itu akan terwujud atau tidak, semua terserah pada kehendakNya. Karena seringkali kita 'soktahu' menentukan apa yang terbaik untuk hidup kita, atau 'soktahu' menentukan jalan yang kita anggap terbaik untuk mencapai tujuan.
Tentu bukan berarti kita jadi berhenti merencanakan dan berusaha, tapi jangan lupa bahwa apapun yang terjadi; keberhasilan, ketercapaian tujuan, semua adalah karena Dia yang menghendaki, bukan sekedar karena usaha kita.
Ada satu cerita dari Kang Heri bertahun lalu, tentang analogi kepasrahan. "Suka nonton Saint Seiya gak Ti, waktu kecil?", tanyanya. Suka tentu saja, saya penggemar jurus debu2 intan dan Ksatria Emas Aries yang ganteng itu. "Inget ngga kalo pasukan Saint Seiya selalu bertempur sampe berdarah2, sampe teu bisa nanaon lah. Tapi justru pas udah mau kalah itulah biasanya kekuatannya tiba2 nambah, aya naon we nu nambah. Menang aja ujungnya."
Ceritanya fiksi sih, tapi analoginya sangat saya sukai! Sederhana saja, dan masih saya ingat sampai hari ini.
Ada juga kisah yang nyata.Satu cerita di tausyiah pagi MQFM, cerita tentang Siti Hajar yang mencari sumber air untuk Ismail yang kehausan.
Sudah hafal luar kepala tentu dengan ceritanya, bahwa Siti Hajar 7 kali berlarilari melintasi bukit Safa dan Marwah. Terbayang panas teriknya gurun, terbayang lelahnya seorang ibu dengan bayi berlarilari, kurang apalagi usahanya mencari? Tapi apakah setelah usahanya yang sedemikian, sumber air lantas ditemukan? Tidak. Sumber air ditemukan setelah Siti Hajar telah kehabisan harapan dan pasrah, papar Sang Ustadz.
Lalu mengabadilah sumur Zamzam yang digali malaikat, simbol keoptimalan usaha dan kepasrahan Siti Hajar yang didatangi jutaan manusia dari seluruh pelosok dunia setiap tahunnya.
Kenapa harus demikian? Wallahu a'lam, saya sama sekali tidak berkapasitas untuk menyimpulkan. Sekedar yang saya pahami, mekanismenya harus demikian agar manusia tak jadi sombong lantas durhaka dengan keberhasilannya. Lagi2 karena Dia teramat menyayangi hambaNya.. Bahwa saat berhasil setelah memasrahkan diri, kita mendapat 2 hal sekaligus; keberhasilan dan kerendahan hati untuk merunduk padaNya. Bahwa ketika tujuan belum lagi tercapai, kita masih bisa tersenyum karena yakin dan pasrah bahwa di depan pasti ada hadiah terbaik dariNya.
Kepasrahan bukan kelemahan, justru kekuatan dahsyat yang tersimpan. Ia adalah pengundang pertolonganNya yang dirahasiakan. Ia adalah kesadaran bahwa diri ini tiada daya tanpa pertolonganNya. Maka ia adalah merencanakan sebaik2nya, lalu berupaya semampunya, lalu merundukkan hati untuk menerima jalan dan kehendakNya.
"..dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki" (Q.S.Ibrahiim: 27)
by Putri Setiani on Saturday, February 13, 2010 at 8:14am
Allah ingin saya jadi apa ya?
Tersebut di atas adalah pertanyaan yang intensitas kecamuknya meningkat tajam dalam pikiran beberapa waktu terakhir ini. Berikut hasil wawancara saya dengan seorang teman (dengan penyesuaian)
Gimana sih caranya kita tau Allah ingin kita jadi apa?
Tanya aja sama Allah..
Caranya?
Caranya.. Pertama, doa. Tentu.
Istikharah salah satu metodenya. Awali dengan shalat sunat 2 rakaat, ketuk pintuNya dengan sebaik2 cara. Lanjutkan dengan doa, minta dimantapkan tentang apa yang terbaik untuk dien kita, untuk hidup kita dan untuk kelanjutan akibatnya kelak. Minta dijauhkan dari apa2 yang tidak baik. Minta ditetapkan apa yang terbaik menurutNya, lalu hati ini diridhakan menerimanya.
Kedua, ikuti kata hati.
Kenali diri sendiri; apa yang jadi keunggulan alami kita, bidang mana yang secara natural kita mahir melakukannya. Kata Ali ra., siapa yang mengenal dirinya, mengenal Rabbnya.
"Setiap orang dimudahkan melakukan sesuatu yang untuknya kita diciptakan" (H.R. Muslim)
Ketiga, minat.
Hal apa yang menarik perhatian kita, yang kita sukai untuk melakukannya, yang kita ingin untuk memperdalamnya. Mengutip Mario Teguh, "Kebahagiaan adalah ketika kita diapresisasi karena melakukan yang kita sukai".
Keempat, kebutuhan.
Pelajari apa kebutuhan umat, kebutuhan masyarakat, kebutuhan manusia. Pelajari keahlian apa yang dibutuhkan untuk diperdalam. Bagaimana seorang ahli di bidang tersebut dibutuhkan.
Irisan dari keempat hal tadi, itulah yang orang bilang 'passion' atau 'suara jiwa'.
Untuk setiap orang, keempat hal itu pasti beririsankah?
Menyimak ayat berikut;
"Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermainmain" (Q.S.21:16)
Bisa disimpulkan bahwa setiap penciptaan adalah untuk suatu maksud. Termasuk penciptaan manusia, penciptaan setiap kita, dimaksudkan untuk satu peran tertentu.
Tentang pencarian irisannya, itu proses. Yang usahanya lebih keras, lebih cerdas, lebih cepat menemukannya.
Usahanya lebih keras? Berarti prosesnya memang try and error?
Tentu.
Tapi try and success lebih baik :)
Dan sekalipun hasilnya 'try'-nya masih 'error', tentu ada balasan yg lebih baik untuk setiap usaha.
***
Baiklah. Saatnya mencari.
"Ya Allah, pilihkanlah yang baik menurut ilmu-Mu, tetapkanlah menurut takdir-Mu, dan berikanlah sebagian dari keutamaan-Mu. Engkau berkuasa dan hamba tidak. Engkau mengetahui dan hamba tidak. Dan Engkaulah yang Maha Mengetahui segala yang gaib."
*Hasil wawancara dengan saudara Rihan. Ulasan yang lebih komprehensif ada juga di buku"Delapan Mata Air Kecemerlangan" karya Anis Matta.*
by Putri Setiani on Thursday, June 10, 2010 at 11:00am
Gimana sih caranya kita tau Allah ingin kita jadi apa?
Tanya aja sama Allah..
Caranya?
Caranya.. Pertama, doa. Tentu.
Istikharah salah satu metodenya. Awali dengan shalat sunat 2 rakaat, ketuk pintuNya dengan sebaik2 cara. Lanjutkan dengan doa, minta dimantapkan tentang apa yang terbaik untuk dien kita, untuk hidup kita dan untuk kelanjutan akibatnya kelak. Minta dijauhkan dari apa2 yang tidak baik. Minta ditetapkan apa yang terbaik menurutNya, lalu hati ini diridhakan menerimanya.
Kedua, ikuti kata hati.
Kenali diri sendiri; apa yang jadi keunggulan alami kita, bidang mana yang secara natural kita mahir melakukannya. Kata Ali ra., siapa yang mengenal dirinya, mengenal Rabbnya.
"Setiap orang dimudahkan melakukan sesuatu yang untuknya kita diciptakan" (H.R. Muslim)
Ketiga, minat.
Hal apa yang menarik perhatian kita, yang kita sukai untuk melakukannya, yang kita ingin untuk memperdalamnya. Mengutip Mario Teguh, "Kebahagiaan adalah ketika kita diapresisasi karena melakukan yang kita sukai".
Keempat, kebutuhan.
Pelajari apa kebutuhan umat, kebutuhan masyarakat, kebutuhan manusia. Pelajari keahlian apa yang dibutuhkan untuk diperdalam. Bagaimana seorang ahli di bidang tersebut dibutuhkan.
Irisan dari keempat hal tadi, itulah yang orang bilang 'passion' atau 'suara jiwa'.
Untuk setiap orang, keempat hal itu pasti beririsankah?
Menyimak ayat berikut;
"Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermainmain" (Q.S.21:16)
Bisa disimpulkan bahwa setiap penciptaan adalah untuk suatu maksud. Termasuk penciptaan manusia, penciptaan setiap kita, dimaksudkan untuk satu peran tertentu.
Tentang pencarian irisannya, itu proses. Yang usahanya lebih keras, lebih cerdas, lebih cepat menemukannya.
Usahanya lebih keras? Berarti prosesnya memang try and error?
Tentu.
Tapi try and success lebih baik :)
Dan sekalipun hasilnya 'try'-nya masih 'error', tentu ada balasan yg lebih baik untuk setiap usaha.
***
Baiklah. Saatnya mencari.
"Ya Allah, pilihkanlah yang baik menurut ilmu-Mu, tetapkanlah menurut takdir-Mu, dan berikanlah sebagian dari keutamaan-Mu. Engkau berkuasa dan hamba tidak. Engkau mengetahui dan hamba tidak. Dan Engkaulah yang Maha Mengetahui segala yang gaib."
*Hasil wawancara dengan saudara Rihan. Ulasan yang lebih komprehensif ada juga di buku"Delapan Mata Air Kecemerlangan" karya Anis Matta.*
by Putri Setiani on Thursday, June 10, 2010 at 11:00am
Mari buat mereka terpesona !
Cogito ergo sum, Credo ergo sum…
Aku adalah pemikiranku, aku adalah keyakinanku…
Beginilah memang seorang manusia umumnya menghargai dirinya sendiri, dari apa-apa yang menjadi grand design bagi dirinya sendiri di masa depan. Sehingga tidak perlu heran jika ternyata ada orang begitu yakin menjalani hidupnya, sementara belum ada suatu pencapaian apapun baginya. Bukannya tidak punya pijakan, tetapi pijakan itu terpetakan dengan jelas hanya didalam pikirannya sendiri dan diyakini hanya dalam hatinya sendiri sebagai sebuah tujuan hidup yang paripurna.
Meski demikian, kita tidak hidup diantara kerumunan cenayang. Tidak ada seorang pun yang mampu membaca kedalaman pikiran atau hati seseorang. Sehingga salah besar jika kita mengharapkan orang lain ikut melihat apa-apa yang kita lihat sementara kita tidak pernah menunjukkan apa pun. Tidak mungkin seorang calon sarjana diberi ucapan selamat sebelum benar-benar ia menjadi sarjana.
We value our self from what we intend to do, while others judge us from what we have done
Namun pernahkah kawan-kawan semua tertipu saat menilai seseorang?
Yang dikira terhormat ternyata tercela
yang dikira cendekia ternyata pandir
yang dikira triliuner ternyata miskin hati…
Demikian seorang Andrias Harefa mengupas fenomena mengenai pesona baju dan pesona karakter dalam buku kumpulan artikelnya yang berjudul Mindset Therapy. Disana beliau memaparkan demikian mudah manusia dinilai dari atribut-atribut yang melekat pada dirinya, entah itu harta, tahta, atau kata. Itulah efek dari sebuah kesan pertama, begitu menggoda! Sehingga mampu membuat kita jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukannya bermaksud mengecilkan pesona sebuah ‘baju’, karena pada kenyataannya banyak cerita kesuksesan dimulai dari kesan pertama yang begitu menggoda. Namun pada akhirnya tetap harus saya akui ‘tubuh’ yang sakit tidak pernah bisa ditutupi dengan memakai ‘baju’ yang bagus. Alangkah baiknya apabila semua atribut baik yang terlihat adalah perwujudan dari keindahan yang menyeruak perlahan tapi pasti dari keluasan pola pikir, kedalaman hati dan konsistensi laku pribadi, itulah pesona karakter!
Kemudian yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana cara menebarkan pesona karakter?
Tatkala saya masih duduk di bangku kuliah dulu, pernah satu kali saya terjebak dalam sebuah obrolan ringan di sebuah organisasi kampus yang kami sebut Himpunan. Obrolan itu, entah bagaimana, sampai pada satu pembahasan mengenai konsep sebuah acara bergengsi yang biasa kami sebut kaderisasi (baca: ospek). Ada satu pernyataan sahabat saya yang juga adalah Sang ketua himpunan yang masih terus saya ingat hingga saat ini.
“Dha, kalau kaderisasi isinya cuma pura-pura marah, pura-pura disiplin, maka nanti kader yang kita dapet juga cuma yang pura-pura patuh, pura-pura berkarakter.. Kaderisasi itu cuma trigger aja, pembentukan karakter yang sebenarnya itu nanti, waktu semuanya udah di dalem himpunan.. Nah, makanya yang jadi PR besar kita itu gimana caranya membentuk kebiasaan-kebiasaan positif di himpunan kita supaya kader-kader Himpunan ini bener-bener punya karakter yang bagus…”
Memang, mau dibolak balik seperti apapun juga, tidak mungkin yang namanya karakter dapat diubah atau dibentuk secara instan hanya dengan beberapa kali pertemuan saja. Karakter seseorang biasanya dibangun sebagai hasil induksi lingkungan (termasuk keluarga) dalam waktu lama melalui pembiasaan yang kontinyu. Tapi bukan berarti tidak bisa diubah!
Pernah baca Buku Personality Plus-nya Florence Littauer? Di dalam bukunya itu ia sangat ngotot sekali kalau setiap manusia pasti memiliki salah satu dari 4 karakter dasar yang dominan yang masing-masing sudah memiliki kelebihan dan kekurangan yang khas. Namun, saat ia kemudian (melalui buku yang sama juga) mencoba mengajak pembacanya untuk mengorganisasi Sanguinis yang populer, melunakkan Koleris yang kuat, menggembirakan Melankolis yang sempurna, dan memotivasi si Phlegmatis yang damai, saya menjadi sangat yakin bahwa ada usaha yang bisa kita lakukan untuk meng-improve karakter kita.
Tapi terlepas dari semua teori psikologis yang rumit itu, rasa-rasanya untuk membentuk karakter yang baik tidak perlu metode macam-macam. Cukup lah kita lakukan kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif saja..
dan bersiaplah untuk jadi mempesona.. :)
by Ardha P. Rahardjo on Wednesday, November 24, 2010 at 10:53pm
Aku adalah pemikiranku, aku adalah keyakinanku…
Beginilah memang seorang manusia umumnya menghargai dirinya sendiri, dari apa-apa yang menjadi grand design bagi dirinya sendiri di masa depan. Sehingga tidak perlu heran jika ternyata ada orang begitu yakin menjalani hidupnya, sementara belum ada suatu pencapaian apapun baginya. Bukannya tidak punya pijakan, tetapi pijakan itu terpetakan dengan jelas hanya didalam pikirannya sendiri dan diyakini hanya dalam hatinya sendiri sebagai sebuah tujuan hidup yang paripurna.
Meski demikian, kita tidak hidup diantara kerumunan cenayang. Tidak ada seorang pun yang mampu membaca kedalaman pikiran atau hati seseorang. Sehingga salah besar jika kita mengharapkan orang lain ikut melihat apa-apa yang kita lihat sementara kita tidak pernah menunjukkan apa pun. Tidak mungkin seorang calon sarjana diberi ucapan selamat sebelum benar-benar ia menjadi sarjana.
We value our self from what we intend to do, while others judge us from what we have done
Namun pernahkah kawan-kawan semua tertipu saat menilai seseorang?
Yang dikira terhormat ternyata tercela
yang dikira cendekia ternyata pandir
yang dikira triliuner ternyata miskin hati…
Demikian seorang Andrias Harefa mengupas fenomena mengenai pesona baju dan pesona karakter dalam buku kumpulan artikelnya yang berjudul Mindset Therapy. Disana beliau memaparkan demikian mudah manusia dinilai dari atribut-atribut yang melekat pada dirinya, entah itu harta, tahta, atau kata. Itulah efek dari sebuah kesan pertama, begitu menggoda! Sehingga mampu membuat kita jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukannya bermaksud mengecilkan pesona sebuah ‘baju’, karena pada kenyataannya banyak cerita kesuksesan dimulai dari kesan pertama yang begitu menggoda. Namun pada akhirnya tetap harus saya akui ‘tubuh’ yang sakit tidak pernah bisa ditutupi dengan memakai ‘baju’ yang bagus. Alangkah baiknya apabila semua atribut baik yang terlihat adalah perwujudan dari keindahan yang menyeruak perlahan tapi pasti dari keluasan pola pikir, kedalaman hati dan konsistensi laku pribadi, itulah pesona karakter!
Kemudian yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana cara menebarkan pesona karakter?
Tatkala saya masih duduk di bangku kuliah dulu, pernah satu kali saya terjebak dalam sebuah obrolan ringan di sebuah organisasi kampus yang kami sebut Himpunan. Obrolan itu, entah bagaimana, sampai pada satu pembahasan mengenai konsep sebuah acara bergengsi yang biasa kami sebut kaderisasi (baca: ospek). Ada satu pernyataan sahabat saya yang juga adalah Sang ketua himpunan yang masih terus saya ingat hingga saat ini.
“Dha, kalau kaderisasi isinya cuma pura-pura marah, pura-pura disiplin, maka nanti kader yang kita dapet juga cuma yang pura-pura patuh, pura-pura berkarakter.. Kaderisasi itu cuma trigger aja, pembentukan karakter yang sebenarnya itu nanti, waktu semuanya udah di dalem himpunan.. Nah, makanya yang jadi PR besar kita itu gimana caranya membentuk kebiasaan-kebiasaan positif di himpunan kita supaya kader-kader Himpunan ini bener-bener punya karakter yang bagus…”
Memang, mau dibolak balik seperti apapun juga, tidak mungkin yang namanya karakter dapat diubah atau dibentuk secara instan hanya dengan beberapa kali pertemuan saja. Karakter seseorang biasanya dibangun sebagai hasil induksi lingkungan (termasuk keluarga) dalam waktu lama melalui pembiasaan yang kontinyu. Tapi bukan berarti tidak bisa diubah!
Pernah baca Buku Personality Plus-nya Florence Littauer? Di dalam bukunya itu ia sangat ngotot sekali kalau setiap manusia pasti memiliki salah satu dari 4 karakter dasar yang dominan yang masing-masing sudah memiliki kelebihan dan kekurangan yang khas. Namun, saat ia kemudian (melalui buku yang sama juga) mencoba mengajak pembacanya untuk mengorganisasi Sanguinis yang populer, melunakkan Koleris yang kuat, menggembirakan Melankolis yang sempurna, dan memotivasi si Phlegmatis yang damai, saya menjadi sangat yakin bahwa ada usaha yang bisa kita lakukan untuk meng-improve karakter kita.
Tapi terlepas dari semua teori psikologis yang rumit itu, rasa-rasanya untuk membentuk karakter yang baik tidak perlu metode macam-macam. Cukup lah kita lakukan kebiasaan-kebiasaan kecil yang positif saja..
dan bersiaplah untuk jadi mempesona.. :)
by Ardha P. Rahardjo on Wednesday, November 24, 2010 at 10:53pm
Langganan:
Postingan (Atom)