Di suatu jaman, di suatu tempat. Di suatu siang, di atas bukit dengan
rumput-rumput hijau yang terpotong rapi, terdapat puluhan hewan ternak
yang tampak sedang asyik merumput.
“Hei, kawan apa kabar?!” Sapa seorang lelaki berusia pertengahan dengan tiba-tiba pada seorang pemuda tanggung yang sedang berteduh tak jauh dari hewan-hewan tersebut.
Pemuda tersebut terkejut oleh tepukan di bahunya yang keras, segera menoleh ke sumber suara. Matanya menjadi terbelalak. Ia tak percaya pada tatapannya. Seseorang yang telah lama tak dijumpainya tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Kau! Si pengembara bukan? Astaga, telah lama sekali dari waktu itu! Apa kabarmu, sekarang?” tanyanya hampir memekik saking semangatnya, lalu segera merangkul orang di hadapannya.
Lelaki itu tertawa, membalas rangkulan sobat lamanya. “Hahaha. Sudah lama, eh? Kabarku baik-baik saja. Tak ada yang terlalu menarik. Bagaimana denganmu, sobat? Tampak tak ada perubahan juga, eh, setelah sekian tahun tak berjumpa? Masih asyik jadi pengembala?” tanyanya sambil terbahak lepas
Pemuda pengembala ikut tertawa kecil. Sambil melepas rangkulannya, ia menatap lelaki itu sambil tersenyum. “Tak ada yang berubah, huh? Mungkin tidak seperti yang kelihatannya. Hehe,” ia menjawab santai. “Kabarku baik-baik saja, Tuan. Terima kasih telah berkenan menjumpaiku lagi di ujung dunia ini”
Pengembara mengibaskan tangannya, menepis ucapan sang pemuda. “Ah, kau ini, masih saja senang berprosa. Haha. Kau tau, setelah melakukan perjalanan lagi sekian lama, tetap saja aku tidak menemukan orang sepertimu di manapun. Karena itu beberapa waktu lalu aku mendadak merindukanmu, dan taraaa..disinilah aku berada sekarang!” ujarnya lantang dan bersemangat.
Pemuda itu tersenyum, “Hidup bebas yang terlihat menyenangkan, Tuan”
Lelaki itu kembali mengibaskan tangannya, berusaha merendah. Pemuda pengembala itu menatap lelaki dewasa di depannya dengan ketertarikan. “Apa kabar negeri seberang, Tuan? Setelah pembicaraan kita tempo hari yang lalu, apakah ada yang berubah?” tanyanya lembut
Pengembara itu tersenyum simpul, memahami maksud si pemuda. “Well, yah, kau lihat sendiri perubahan pada diriku dari kali terakhir kita bertemu, bukan? Pencarianku akan Tuhan telah berakhir ketika aku bertemu denganmu” ujarnya lalu menatap pemuda itu sambil tersenyum penuh arti. “Dan kau tau, perjalananku atas pencarian kali ini ternyata lebih memusingkan daripada sebelumnya”
“Wah, apakah itu, Tuan, jika aku boleh tau?” tanya pemuda pengembala mulai penasaran.
Pak tua itu berhenti sesaat, sengaja menggoda keingintahuan lawan bicaranya. Sambil menahan geli, ia menatap mata sahabat mudanya. Mata itu, mata seorang anak muda yang jernih namun sarat makna. Ia menggeleng perlahan, rasanya entah kenapa ia tak akan pernah menang melawan kebijaksanaan pemuda ini. Ia pun tersenyum mistis, sebelum berujar, “Kali ini perjalananku adalah… untuk mencari jawaban…. apakah bahagia itu ada?”
Pemuda pengembala membelalak lalu berdecak serta merta “Ya ampun, Tuan. Entah mengapa pencarianmu selalu dalam, dan membuatku iri” ujarnnya tulus sambil tersenyum. “Lalu, apakah Anda telah menemukan jawabannya?” tanyanya, persis pertanyaan yang diajukannya beberapa tahun silam saat bertemu pertama kali di tempat yang sama dengan sekumpulan hewan ternak yang berbeda.
Dijawab oleh si pengembara, dengan jawaban yang serupa dengan saat itu, “Kurasa, teman, kesimpulanku adalah.. bahagia itu tidak ada.”
Mata pemuda itu berkilau, namun masih tersenyum ramah. “Dan bagaimanakah anda sampai pada kesimpulan itu, Tuan?” Pertanyaan yang sama, seakan mereka sedang memutar waktu.
Kali ini, pengembara setengah baya itu melepas sopan santun ala pedesaan. Dengan acuh ia mengangkat bahunya, “Entahlah, semua orang terlihat memaksakan jawabannya setiap kali kutanya. Ada yang mengaku bahagia, tapi ia mengeluh pada hal-hal kecil. Ada yang mengaku tak bahagia, tapi ia menikmati segala hal di sekitarnya. Manusia, sulit sekali dipercaya apa yang ada di benaknya” ujarnya setengah menggerutu
Pemuda itu mendengarkan dengan takjim. “Bila perkataan mereka sulit dipercaya, bagaimana dengan pengamatan Tuan?” tanyanya kemudian masih tetap bernada sopan seperti sebelumnya.
“Pengamatanku?” tanya sang pengembara retoris. Ia berpikir sejenak. Kemudian menjawab yakin, “Semua orang berpura-pura untuk terlihat bahagia”
Pemuda itu tersenyum, tak berniat membantah.
“Menurutmu?” tanya lelaki itu setelah beberapa saat tak ada tanggapan.
Pemuda tanggung itu menggeleng, “Entahlah, Tuan, tampaknya ilmu saya masih kurang cukup mengenai hal ini” ujarnya merendah. “Tapi… izinkan saya bertanya, Tuan.” Lelaki pengembara mengangguk memberi izin.
“Hm. Menurut Anda, Tuan, apakah hewan-hewan yang saya gembalakan berbahagia?”
Pengembara itu terbahak. "Pertanyaan macam itu?" ujarnya balik bertanya. Namun sejurus kemudian ia tampak sedikit berpikir, dan menjawab dengan yakin, "Tentu saja mereka bahagia!”
"Haha, kenapa anda berpendapat begitu, Tuan?"
"Well, jika kau tanya aku, menurutku mereka bahagia karena, pertama, mereka hewan. Tidak banyak kesulitan dalam hidupnya, bukan? Kedua, mereka memilikmu. Seorang tuan yang teliti dan cakap dalam memberikan perlindungan dan juga dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Tidak ada yang perlu mereka pikirkan dan khawatirkan sama sekali!"
Pemuda itu tersenyum,
“Jika begitu, adakah alasan kita tidak bahagia, Tuan? Bukankah masing-masing kita memiliki "Tuan", yaitu Tuhan yang amat teliti dan penuh kuasa untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan kita? Yang begitu kuasa dan Maha Besarnya Ia sampai-sampai permasalahan kita terlihat sepele seperti apa yang kita lihat pada hewan-hewan ternak saya”
Lelaki pengembara itu sedikit tersentak. Ia lalu mengamati kawan di depannya itu lamat-lamat. Kemudian ia berkomentar, "Memang, kau bahagia, teman?"
"Tentu saja!" jawab sang pemuda pengembala tanpa pikir panjang.
"Ah, kau terlalu cepat menjawab, tanpa berpikir dulu" cibir sang pengembara tampak tak percaya. Namun yang dikomentari hanya tersenyum tenang,
"Perlukah berpikir hanya untuk menjawab kita bahagia atau tidak, Tuan? Justru berpikir, menurut saya, hanya mendefinisikan segala kesederhanaan dan kekuatan kebahagiaan itu sendiri."
"Maksudnya?"
Pemuda itu masih tersenyum ramah, "Menurut saya, Tuan, jika kebahagiaan harus diidentikan dengan tercukupinya semua keinginan, mungkin kesimpulan perjalanan Anda benar: bahagia itu tidak ada. Masalahnya, kita semua tahu, kita tidak sedang hidup di surga.” senyumnya mengembang, “Artinya, dengan keberadaan kita di hamparan bumiNya, kita sedang diberi kesempatan untuk melihat keindahan dari sebuah perjalanan yang tak sempurna. Sebuah seni kehidupan dari Pengkarya Tanpa Cela.
Ketika luka ataupun senang yang telah berlalu tak lebih dari sekedal bekal.
Ketika buruk ataukah baik masa depan menjadi sebuah harapan dan alasan untuk berjuang.
Ketika saat ini, adalah sebuah hadiah, karena kita telah mendapatkan kejutannya dengan cuma-cuma tanpa mengerti ada apa dibalik semua bungkus tersebut.
Apakah Tuhan sedang bermain? Tidak, bukan?” ia berhenti tanpa melepas senyum “ Karena itu, saya rasa, jika harus menunggu semua hal tepat sesuai keinginan kita, baru kita mempunyai alasan untuk bahagia, tampak tidak masuk akal, bukan?” lanjutnya ramah.
Pengembara itu tampak berpikir. “Jadi maksudmu…bahagia adalah sebuah pilihan?”
Pemuda itu menggeleng santun, “Bahkan ia bukan suatu pilihan, karena untuk bahagia tidak perlu memiliki alasan. Kita hanya perlu menyambut kehidupan sesuai apa adanya ia.”
Pengembara tersebut masih diam, tampak mempertimbangkan jawaban sang pemuda. Pengembala itu menatapnya dalam, lalu melanjutkan dengan kerendahan hati yang sama,
"Saya iri melihat kehidupan anda yang bebas, Tuan. Terlepas dari bagaimana masa lalu anda yang membuat anda seperti ini. Tapi berkabung atas apa yang telah berlalu atau apa yang belum datang, bukankah membutuhkan energi besar yang tidak perlu? Ide dari ketidaksempurnaan hidup adalah betapa banyaknya faktor yang bisa tidak membahagiakan. Membandingkan dengan orang lain atau waktu lain, terpaku pada angan-angan yang kita ciptakan atas ketidaktahuan kita akan susah senangnya hidup seseorang. Bukankah, itu menariknya perjalanan kita, Tuan? Siapa dan kapankah kesepakatan kebahagiaan itu dibuat? Hanya karena kebanyakan situasi membuat orang mengaku bahagia, bukan berarti arti bahagia untuk stiap orang menjadi sama, bukan? Entah sejak kapan, kita lalu merasa bahagia dan tidak bahagia karena definisi kebahagiaan yang diciptakan orang lain.
Betapa bahagianya makhluk hidup lain di muka bumi ini, hanya karena mereka tidak bisa berpikir. Karena, kesederhanaan dalam memandang yang kita jalani setiap saat adalah kekuatan kebahagiaan itu sendiri." gumamnya.
Dan pengembara itu tersenyum penuh arti, sambil kembali merangkul bahu pemuda sahabat perjalanannya.
“Hei, kawan apa kabar?!” Sapa seorang lelaki berusia pertengahan dengan tiba-tiba pada seorang pemuda tanggung yang sedang berteduh tak jauh dari hewan-hewan tersebut.
Pemuda tersebut terkejut oleh tepukan di bahunya yang keras, segera menoleh ke sumber suara. Matanya menjadi terbelalak. Ia tak percaya pada tatapannya. Seseorang yang telah lama tak dijumpainya tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Kau! Si pengembara bukan? Astaga, telah lama sekali dari waktu itu! Apa kabarmu, sekarang?” tanyanya hampir memekik saking semangatnya, lalu segera merangkul orang di hadapannya.
Lelaki itu tertawa, membalas rangkulan sobat lamanya. “Hahaha. Sudah lama, eh? Kabarku baik-baik saja. Tak ada yang terlalu menarik. Bagaimana denganmu, sobat? Tampak tak ada perubahan juga, eh, setelah sekian tahun tak berjumpa? Masih asyik jadi pengembala?” tanyanya sambil terbahak lepas
Pemuda pengembala ikut tertawa kecil. Sambil melepas rangkulannya, ia menatap lelaki itu sambil tersenyum. “Tak ada yang berubah, huh? Mungkin tidak seperti yang kelihatannya. Hehe,” ia menjawab santai. “Kabarku baik-baik saja, Tuan. Terima kasih telah berkenan menjumpaiku lagi di ujung dunia ini”
Pengembara mengibaskan tangannya, menepis ucapan sang pemuda. “Ah, kau ini, masih saja senang berprosa. Haha. Kau tau, setelah melakukan perjalanan lagi sekian lama, tetap saja aku tidak menemukan orang sepertimu di manapun. Karena itu beberapa waktu lalu aku mendadak merindukanmu, dan taraaa..disinilah aku berada sekarang!” ujarnya lantang dan bersemangat.
Pemuda itu tersenyum, “Hidup bebas yang terlihat menyenangkan, Tuan”
Lelaki itu kembali mengibaskan tangannya, berusaha merendah. Pemuda pengembala itu menatap lelaki dewasa di depannya dengan ketertarikan. “Apa kabar negeri seberang, Tuan? Setelah pembicaraan kita tempo hari yang lalu, apakah ada yang berubah?” tanyanya lembut
Pengembara itu tersenyum simpul, memahami maksud si pemuda. “Well, yah, kau lihat sendiri perubahan pada diriku dari kali terakhir kita bertemu, bukan? Pencarianku akan Tuhan telah berakhir ketika aku bertemu denganmu” ujarnya lalu menatap pemuda itu sambil tersenyum penuh arti. “Dan kau tau, perjalananku atas pencarian kali ini ternyata lebih memusingkan daripada sebelumnya”
“Wah, apakah itu, Tuan, jika aku boleh tau?” tanya pemuda pengembala mulai penasaran.
Pak tua itu berhenti sesaat, sengaja menggoda keingintahuan lawan bicaranya. Sambil menahan geli, ia menatap mata sahabat mudanya. Mata itu, mata seorang anak muda yang jernih namun sarat makna. Ia menggeleng perlahan, rasanya entah kenapa ia tak akan pernah menang melawan kebijaksanaan pemuda ini. Ia pun tersenyum mistis, sebelum berujar, “Kali ini perjalananku adalah… untuk mencari jawaban…. apakah bahagia itu ada?”
Pemuda pengembala membelalak lalu berdecak serta merta “Ya ampun, Tuan. Entah mengapa pencarianmu selalu dalam, dan membuatku iri” ujarnnya tulus sambil tersenyum. “Lalu, apakah Anda telah menemukan jawabannya?” tanyanya, persis pertanyaan yang diajukannya beberapa tahun silam saat bertemu pertama kali di tempat yang sama dengan sekumpulan hewan ternak yang berbeda.
Dijawab oleh si pengembara, dengan jawaban yang serupa dengan saat itu, “Kurasa, teman, kesimpulanku adalah.. bahagia itu tidak ada.”
Mata pemuda itu berkilau, namun masih tersenyum ramah. “Dan bagaimanakah anda sampai pada kesimpulan itu, Tuan?” Pertanyaan yang sama, seakan mereka sedang memutar waktu.
Kali ini, pengembara setengah baya itu melepas sopan santun ala pedesaan. Dengan acuh ia mengangkat bahunya, “Entahlah, semua orang terlihat memaksakan jawabannya setiap kali kutanya. Ada yang mengaku bahagia, tapi ia mengeluh pada hal-hal kecil. Ada yang mengaku tak bahagia, tapi ia menikmati segala hal di sekitarnya. Manusia, sulit sekali dipercaya apa yang ada di benaknya” ujarnya setengah menggerutu
Pemuda itu mendengarkan dengan takjim. “Bila perkataan mereka sulit dipercaya, bagaimana dengan pengamatan Tuan?” tanyanya kemudian masih tetap bernada sopan seperti sebelumnya.
“Pengamatanku?” tanya sang pengembara retoris. Ia berpikir sejenak. Kemudian menjawab yakin, “Semua orang berpura-pura untuk terlihat bahagia”
Pemuda itu tersenyum, tak berniat membantah.
“Menurutmu?” tanya lelaki itu setelah beberapa saat tak ada tanggapan.
Pemuda tanggung itu menggeleng, “Entahlah, Tuan, tampaknya ilmu saya masih kurang cukup mengenai hal ini” ujarnya merendah. “Tapi… izinkan saya bertanya, Tuan.” Lelaki pengembara mengangguk memberi izin.
“Hm. Menurut Anda, Tuan, apakah hewan-hewan yang saya gembalakan berbahagia?”
Pengembara itu terbahak. "Pertanyaan macam itu?" ujarnya balik bertanya. Namun sejurus kemudian ia tampak sedikit berpikir, dan menjawab dengan yakin, "Tentu saja mereka bahagia!”
"Haha, kenapa anda berpendapat begitu, Tuan?"
"Well, jika kau tanya aku, menurutku mereka bahagia karena, pertama, mereka hewan. Tidak banyak kesulitan dalam hidupnya, bukan? Kedua, mereka memilikmu. Seorang tuan yang teliti dan cakap dalam memberikan perlindungan dan juga dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Tidak ada yang perlu mereka pikirkan dan khawatirkan sama sekali!"
Pemuda itu tersenyum,
“Jika begitu, adakah alasan kita tidak bahagia, Tuan? Bukankah masing-masing kita memiliki "Tuan", yaitu Tuhan yang amat teliti dan penuh kuasa untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan kita? Yang begitu kuasa dan Maha Besarnya Ia sampai-sampai permasalahan kita terlihat sepele seperti apa yang kita lihat pada hewan-hewan ternak saya”
Lelaki pengembara itu sedikit tersentak. Ia lalu mengamati kawan di depannya itu lamat-lamat. Kemudian ia berkomentar, "Memang, kau bahagia, teman?"
"Tentu saja!" jawab sang pemuda pengembala tanpa pikir panjang.
"Ah, kau terlalu cepat menjawab, tanpa berpikir dulu" cibir sang pengembara tampak tak percaya. Namun yang dikomentari hanya tersenyum tenang,
"Perlukah berpikir hanya untuk menjawab kita bahagia atau tidak, Tuan? Justru berpikir, menurut saya, hanya mendefinisikan segala kesederhanaan dan kekuatan kebahagiaan itu sendiri."
"Maksudnya?"
Pemuda itu masih tersenyum ramah, "Menurut saya, Tuan, jika kebahagiaan harus diidentikan dengan tercukupinya semua keinginan, mungkin kesimpulan perjalanan Anda benar: bahagia itu tidak ada. Masalahnya, kita semua tahu, kita tidak sedang hidup di surga.” senyumnya mengembang, “Artinya, dengan keberadaan kita di hamparan bumiNya, kita sedang diberi kesempatan untuk melihat keindahan dari sebuah perjalanan yang tak sempurna. Sebuah seni kehidupan dari Pengkarya Tanpa Cela.
Ketika luka ataupun senang yang telah berlalu tak lebih dari sekedal bekal.
Ketika buruk ataukah baik masa depan menjadi sebuah harapan dan alasan untuk berjuang.
Ketika saat ini, adalah sebuah hadiah, karena kita telah mendapatkan kejutannya dengan cuma-cuma tanpa mengerti ada apa dibalik semua bungkus tersebut.
Apakah Tuhan sedang bermain? Tidak, bukan?” ia berhenti tanpa melepas senyum “ Karena itu, saya rasa, jika harus menunggu semua hal tepat sesuai keinginan kita, baru kita mempunyai alasan untuk bahagia, tampak tidak masuk akal, bukan?” lanjutnya ramah.
Pengembara itu tampak berpikir. “Jadi maksudmu…bahagia adalah sebuah pilihan?”
Pemuda itu menggeleng santun, “Bahkan ia bukan suatu pilihan, karena untuk bahagia tidak perlu memiliki alasan. Kita hanya perlu menyambut kehidupan sesuai apa adanya ia.”
Pengembara tersebut masih diam, tampak mempertimbangkan jawaban sang pemuda. Pengembala itu menatapnya dalam, lalu melanjutkan dengan kerendahan hati yang sama,
"Saya iri melihat kehidupan anda yang bebas, Tuan. Terlepas dari bagaimana masa lalu anda yang membuat anda seperti ini. Tapi berkabung atas apa yang telah berlalu atau apa yang belum datang, bukankah membutuhkan energi besar yang tidak perlu? Ide dari ketidaksempurnaan hidup adalah betapa banyaknya faktor yang bisa tidak membahagiakan. Membandingkan dengan orang lain atau waktu lain, terpaku pada angan-angan yang kita ciptakan atas ketidaktahuan kita akan susah senangnya hidup seseorang. Bukankah, itu menariknya perjalanan kita, Tuan? Siapa dan kapankah kesepakatan kebahagiaan itu dibuat? Hanya karena kebanyakan situasi membuat orang mengaku bahagia, bukan berarti arti bahagia untuk stiap orang menjadi sama, bukan? Entah sejak kapan, kita lalu merasa bahagia dan tidak bahagia karena definisi kebahagiaan yang diciptakan orang lain.
Betapa bahagianya makhluk hidup lain di muka bumi ini, hanya karena mereka tidak bisa berpikir. Karena, kesederhanaan dalam memandang yang kita jalani setiap saat adalah kekuatan kebahagiaan itu sendiri." gumamnya.
Dan pengembara itu tersenyum penuh arti, sambil kembali merangkul bahu pemuda sahabat perjalanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar